baju wanita

Rabu, 19 Oktober 2011

Cerpen: Marah = Jelek

“Irna…!!! Bisa diam ngga sih?!!”

Aku berteriak kesal pada adik kelasku yang menurutku sudah sangat menyebalkan. Dia terus menggodaku yang sedang berusaha keras untuk memusatkan konsentrasi pada skripsiku yang tak kunjung selesai, padahal sudah tiga bulan lewat satu minggu terhitung sejak aku mulai mengetikkan huruf pertama skripsiku. Terkadang hatiku begitu miris saat mendengar teman-teman seangkatan sudah menyelesaikan skripsi mereka dan sekarang sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi sidang. Sedangkan aku??! Bab lima saja belum selesai.

Aku berharap teriakan protesku bisa membuatnya sedikit terhenyak dan berhenti mengganggu konsentrasiku. Ternyata yang dibentak hanya cengengesan sambil lalu ke kamarnya dan berkata :

“Istighfar, Kak Zahra. Pasti lagi dapet ya…??! Makanya sensi banget belakangan ini. Hehehehe...”

”Aku bisa sensi kapan aja aku mau, tuh. Jadi ngga perlu nunggu dapet dulu baru sensi.” kataku ketus.

Irna adalah salah satu adik kelasku yang tinggal satu atap denganku dalam kos-kosan ini. Masih ada tiga orang adik kelas dan dua orang mahasiswa S2 lagi yang di mataku menjadi sangat menyebalkan belakangan ini. Ada saja tingkah mereka yang membuatku marah-marah, mengumpat dan diakhiri istighfar. Kami semua adalah aktivis dakwah di salah satu Universitas swasta di Medan, dan aku adalah anak rantauan dari Jakarta. Kesibukkan dalam mengemban tanggung jawab dakwah membuatku sedikit mengenyampingkan aktivitas kuliah. Karena itulah, proses skripsiku menjadi begitu lambat. Padahal teman seangkatanku yang pernah kos disini juga aktivis yang ulet, mahasiswa teknik sipil pula, namun bisa lulus tetap waktu. Pasti ada yang salah dalam management waktuku. Hufftt...!!!

***

”Skripsi kau masih harus diperbaiki lagi, Zahra. Banyak penyusunan kata – kata yang kurang tepat.” Ujar Pak Andri, dosen pembimbingku dengan logat medan yang khas dan seulas senyum di bibirnya. Aku keluar ruangannya dengan muka masam. Kubuka skripsiku yang tebalnya sudah hampir menyaingi kamus munjid. Banyak coretan yang ditinggalkan Pak Andri, membuat hatiku makin meringis.

Ya Allah... Tabahkan hati hamba.

Aku langsung melangkah ke belakang kampus, menuju kos – kosanku. Lalu segera menunaikan shalat asharku yang sudah agak terlambat. Aku bersimpuh dan memohon ampun. Mungkin selama ini aku kurang berdzikir, sedekah, dan kurang menunaikan shalat serta shaum sunnah.

Sore itu aku terus berkurung di kamar walau isya telah lepas. Terus bermuhasabah. Malam ini aku ingin berehat sejenak tanpa memikirkan skripsi. Aku ingin pikiranku sedikit tenang dan sejuk dengan dzikrullah.

Ya Allah, berikanlah hamba segala yang terbaik bagimu. Amin 

***

Siang ini aku membimbing halaqoh. Semoga bisa merecharge batin dan imanku yang sudah agak ngedrop belakangan ini. Alhamdulillah, pikiranku sudah lebih jernih sekarang. Semoga apapun yang akan aku lalui setelah ini bisa aku sikapi dengan dewasa dan kepala dingin.

Aku sengaja menginap di rumah Bulek sejak dua hari yang lalu agar bisa lebih khusyuk bermuhasabah dan melanjutkan skripsiku yang Alhamdulillah sekarang telah rampung aku perbaiki. Insya Allah kali ini tidak akan ada perbaikan lagi sehingga aku tak perlu mengulur waktu sampai tahun depan untuk wisuda. Semoga saja.

Aku baru saja menyelesaikan rapat gabungan dengan rekan – rekan aktivis yang tergabung dalam kepanitiaan silaturrahmi akbar di kampus kami. Dan jam delapan malam ini, aku dan  dua orang teman yang pulang searah sudah bersiap – siap pulang dengan motor. Rencananya aku akan membonceng Reni, dan Fira akan naik motor sendiri.

Tapi ternyata, di depan pagar kos – kosan kami berpapasan dengan Wita_salah satu adik kelasku di kos_ dan kakaknya. Mereka terlihat sangat tergesa – gesa. 

”Assalamu’alaikum, Wita.” sapaku.

”Wa’alaikumussalam, Kak Zahra. Alhamdulillah. Kakak mau pulang naik kereta ya??” tanyanya masih dengan nafas tersengal. 

”Iya. Kenapa??” aku balik bertanya.

”Wita mau pulang sama aku??” Fira menawari Wita yang sudah bisa sedikit mengatur nafasnya.

”Gini Kak, di jalan arah pulangku macet total. Sedangkan kami harus ngeburu waktu biar ’dak kemalaman. Soalnya kakakku harus menyelesaikan proposal skripisinya malam ini. Kakak pulang sama siapa?” 

”Yah,, aku pulang sama Reni.” sesalku.

”Sebaiknya utamakan yang berkepentingan. Jadi kakaknya Wita aja yang ikut aku. Wita kan bisa naik mobil.” Fira memberi saran yang menurutku agak masuk akal. Namun Nita, kakanya Wita pasti tak akan setuju. Aku pun mempunyai adik, dan aku pasti akan memilih pulang bersama adikku untuk memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang kakak.

”Begini aja, Reni kan cuma ikut sampai istana maimun, jadi kamu ikut aku aja.” usulku.

”Bonceng tiga??!” Fira menegaskan. 

”Ya iyalah. Aku ngga tega biarin Wita pulang sendirian. Wita sama Reni kan badannya kecil, jadi pasti cukup.” Aku berusaha meyakinkan teman – temanku. ”Ngga apa – apa kan, Ren?”

”Ya ’dak apa – apa lah, Kak.”

”Duh, makasih banyak ya, Kak. Maaf jadi ngerepotin” Ujar Wita.

Akhirnya aku membonceng dua orang adik kelasku itu. Bismillahirrahmanirrahim.

            Aku berusaha berhati – hati semaksimal mungkin dan membuat kesalahan seminimal mungkin. Namun ternyata,

            ”BRUKKK!!!”

            ”Astaghfirullah al-’adzim” aku mendengar adik – adik kelasku berdesis. Sedangkan aku berusaha menenangkan diri. Ini musibah kecil yang Allah berikan padaku.

            Yup...!!! Motorku menabrak mobil kijang di depanku. Hatiku sibuk berdzikir. Aku tak bergerak dari posisiku, sedangkan Reni dan Wita turun seketika. Tiba – tiba pintu sebelah kiri mobil tersebut terbuka dan menyembulkan kepala seorang wanita cantik yang memperhatikan luka kecil di mobilnya. Dan saat itu juga wajah wanita cantik tersebut berubah bengis.

            ”Gimana sih, Lo??!!” Bentak wanita itu. Kuperhatikan wajahnya lekat – lekat. Aku sibuk berpikir, bagaimana mungkin wanita yang berparas cantik sejenak tadi bisa berubah menjadi begitu jelek dan menyeramkan??
 
            Hi... aku bergidik ngeri.

            Belum selesai kagetku, datang lagi seorang bapak setengah baya berpakaian batik menghardikku :

            “Bisa nyetir ngga sih, Lo??!!” Kali ini aku jauh lebih heran. Laki – laki yang sebaya dengan ayahku itu berbicara dengan begitu kasar kepada anak gadis sepertiku. Aku jadi teringat Ayah, laki – laki yang begitu lembut dan penyayang. Yang mengajarkanku untuk menjadi wanita tegar dan pemaaf. Namun ternyata, tak semua sosok seorang Ayah sama seperti Ayahku.

            “Lo orang berpendidikan, kan?! Masa ngga tau kalo ini tanda belok kiri?! Masih lo sabet juga...” dan bla...bla...bla...

            Bapak itu masih berceramah panjang lebar yang bertemakan “berpendidikan” dengan muka tak kalah jelek dan bengisnya dari wanita tadi. Aku sendiri bingung apa kaitan “berpendidikan” dengan “tidak bisa menyetir”. Setahuku, banyak orang berpendidikan, bahkan profesor yang tidak bisa menyetir. Kecuali kalau dia menanyakan tentang SIM, baru aku mengaku kalah.

            Aku hanya berlagak mendengarkan dengan tekun apa yang dia bicarakan sampai telingaku menangkap suara wanita itu berkata sinis :

            “Cewek, berkerudung, tapi ngga bisa nyetir.”

            Astaghfirullah...
            Bukankah “Manusia itu tempatnya salah dan lupa”?? Kesempurnaan hanyalah milik Allah.

            Setelah itu, aku sibuk mencari hikmah yang tersirat dari kejadian tersebut. Dan ternyata aku menemukan hikmah terbesar yang sangat menggelitik hatiku. Ternyata marah itu membuat wajah kita yang sudah diciptakan begitu indah oleh Allah SWT menjadi sangat jelek dan menyeramkan.

            Tiba – tiba aku teringat saat aku begitu sering marah – marah, bahkan hal kecil pun bisa membuatku marah pada teman – teman kos. Jadi bagaimana jeleknya wajahku waktu itu...???

Tamat

Cerpen karya adikku, Dwi.
Ini cerpen udah lama banget dibuat'a...
Based on True story

Tidak ada komentar: