baju wanita

Senin, 18 Juli 2016

Dehidrasi

Assalamu’alaikum teman…

Wah, rasanya sudah seabad ga nulis-nulis lagi di blog ini hehehe…

Mumpung ada waktu senggang dan kemauan, kali ini saya mau berbagi cerita—cerita sedih sebetulnya. Yaitu, saat putri saya mengalami dehidrasi. Waktu itu, usianya 10 bulan. Saya yang masih menjadi ibu bekerja ditelepon oleh ibu mertua sekitar jam 10 pagi, beliau mengatakan bahwa dari jam 9 Rin sudah muntah sebanyak 3 kali dan tidak mau minum. Akhirnya, dengan tergesa-gesa saya meminta ijin pulang dan segera memesan ojek online. Sambil menunggu ojek datang, saya memberi kabar pada suami dan dia mengatakan juga akan segera pulang ke rumah. Bersyukur jarak kantor dengan rumah tidak sampai 30 menit jika naik motor dan melewati jalan pintas. 
Sesampainya saya di rumah, ternyata Rin sudah muntah lagi sebanyak 2 kali. Segera saya susui putri saya dengan harapan, ASI bisa diterima oleh perutnya. Rin menyusu dengan lahap, terlihat sekali jika dia kehausan—mungkin juga lapar. Saya dan ibu agak lega saat melihat Rin menyusu cukup lama. Suami tiba di rumah saat Rin sedang menyusu, bersama-sama kami mengamati. Akhirnya Rin selesai menyusu, tapi belum ada 5 menit tiba-tiba “hoek!” Rin memuntahkan ASI yang sudah diminumnya. Tanpa berdiskusi lagi, kami segera memutuskan membawa Rin ke RS. Mulya yang hanya berjarak sekitar 10 menit dari rumah. Ketika kami sedang bersiap-siap, Rin muntah lagi. Habis sudah ASI yang diminumnya tadi. Tak tega melihat putri saya yang biasanya sangat aktif menjadi lemas dan pucat seperti itu. 
Sesampainya di rumah sakit, Alhamdulillah mendapat urutan pertama ke spesialis anak karena kebetulan jadwal dsa nya baru dimulai. Saya lupa nama dsa Rin waktu itu. Rin didiagnosa dehidrasi ringan-sedang dan dsa menyarankan agar segera dirawat inap karena jika terlambat maka akan menjadi sulit mencari pembuluh nadi balita untuk diinfus karena saat dehidrasi menjadi berat pembuluh nadi tersebut akan menciut. Saya tanpa pikir panjang menyetujui dsa tersebut untuk rawat inap, suami pun setuju. Karena kami berdua sudah seringkali mendengar betapa bahayanya balita yang mengalami dehidrasi—bahkan bagi dewasa—, suami bahkan dari pengalaman temannya sendiri. Namun, kakek dan nenek Rin tidak setuju karena tidak tega membayangkan Rin harus ditusuk jarum infus. 
Saya putuskan mengambil jalan tengah. Saya meminta waktu 1 jam pada dsa, jika setelah minum obat yang diresepkan Rin tetap muntah maka Rin akan di rawat inap. Dsa menyetujui dan menuliskan surat pengantar ke UGD. Beliau berpesan bahwa setiap kali Rin muntah maka harus masuk 70 ml cairan ke tubuhnya. Sehingga, kami harus meminumkan 70 ml cairan untuk setiap 1 kali muntah. Sebelum pulang, Rin menyusu dan Alhamdulillah tidak muntah. Kami pun pulang ke rumah dengan perasaan sedikit tenang karena akhirnya Rin tidak memuntahkan ASI-nya. Sampai di rumah, saya meminumkan obat mual pada Rin dan memberinya minum air putih. Tapi, tak lama Rin kembali muntah-muntah. Saat itu saya dan ibu bahkan belum melepas jilbab kami. Segera kami meluncur kembali ke rumah sakit dan menuju UGD. 
Saya dan papanya langsung mengurus administrasi untuk rawat inap, infus untuk Rin disiapkan oleh perawat. Sungguh menyayat hati ketika melihat Rin menangis karena badannya diikat—dibedong dengan kain supaya perawat bisa leluasa mencari pembuluh nadinya untuk ditusukkan jarum infus. Lama sekali perawat tersebut mencari-cari pembuluh nadi Rin, bahkan berganti orang. 
Akhirnya, jarumnya berhasil ditusuk tapi masyaallah ternyata tidak kena pembuluh nadinya. Pembuluh nadi Rin sudah keburu menyusut akibat dehidrasi. Perawat mengatakan akan dicoba lagi nanti untuk cari pembuluh nadinya di kaki jika di tangan tidak bisa. Saya sudah nyeri membayangkan Rin harus menangis lagi seperti tadi. Saya susui putri saya sebentar agar berhenti menangis. Lalu, saya melihat botol cairan elektrolit yang diresepkan oleh dsa, saya minta papanya untuk membuka tutupnya dan meminumkannya pada putri kami. Tidak disangka, Rin meminumnya tanpa paksaan hingga habis setengah botol. Ternyata ketika saya cicipi rasa cairan elektrolit tersebut cukup enak, aromanya seperti sirup melon. Pantas saja Rin suka. Kami beri jeda waktu 10 menit lalu kami minumkan kembali dan Alhamdulillah satu botol sudah habis diminum Rin. 
Beberapa waktu kemudian rona wajah putri saya pun sudah lebih cerah, dan dia mulai mengoceh mengomentari benda-benda di ruangan UGD tersebut. 10 menit kemudian, kami minumkan kembali cairan elektrolit tersebut. Lalu, tak lama kemudian Rin minta makan—kami semua baru ingat bahwa Rin belum makan siang!. Kakek dan neneknya membawa Rin untuk makan, sedangkan saya dan papanya tetap di UGD, kalau-kalau dipanggil oleh dokter atau bagian administrasi rumah sakit.
Sekembalinya Rin dari tempat makan, dia sudah jauh lebih baik. Jauh lebih ceria. Dokter UGD mengatakan sepertinya kadar elektrolit tubuh Rin sudah mulai normal. Saya tetap meminumkan cairan elektrolit tersebut pada Rin meskipun dia sudah terlihat lebih baik. Hingga dua jam kemudian, Rin tidak ada muntah lagi. Cairan elektrolit sudah habis 2 botol. Dokter UGD mengatakan Rin sudah lebih baik dan bisa dibawa pulang, tidak perlu di rawat inap. Tapi, kami memutuskan untuk tetap tinggal di UGD hingga dua jam kedepan karena masih khawatir kalau-kalau Rin muntah lagi.
Menjelang maghrib, kami akhirnya memutuskan untuk membawa Rin pulang karena Rin sudah tidak muntah lagi. Saya dan papanya mengurus administrasi selama perawatan di UGD dan mengambil kembali uang deposit. Setibanya di rumah, kami terus memantau kondisi Rin dan Alhamdulillah Rin betul-betul sudah tidak muntah lagi.

Alhamdulillah ya Rabb!

*Beberapa bulan kemudian Rin mengalami muntah kembali tapi hanya 2 kali karena kami langsung memberikan cairan elektrolit seperti yang diresepkan sebelumnya oleh dsa RS. Mulya. Saya dan ibu mertua pun me-recall makanan dan minuman yang masuk ke tubuh Rin sebelum Rin muntah. Dan, kami mendapatkan kesimpulan bahwa Rin selalu muntah setiap kali habis diberi makan ikan lele. Sudah 3 kali Rin muntah setelah diberi makan dengan lauk ikan lele. Yang terparah adalah kejadian saat Rin usia 10 bulan. Ada kemungkinan Rin alergi terhadap ikan lele. Kasus alergi terhadap ikan air tawar memang jarang sehingga saya menjadi kurang aware. Riwayat alergi Rin memang tinggi yang dia dapatkan dari saya, neneknya dan adik papanya memiliki alergi. Beberapa sepupu saya juga memiliki alergi. Sehingga, sampai dengan sekarang saya belum berani memberikan ikan lele lagi pada putri saya. 

Salam sehat,