Assalamu’alaikum teman…
Wah, rasanya sudah seabad ga nulis-nulis lagi di blog ini
hehehe…
Mumpung ada waktu senggang dan kemauan, kali ini saya mau
berbagi cerita—cerita sedih sebetulnya. Yaitu, saat putri saya mengalami
dehidrasi. Waktu itu, usianya 10 bulan. Saya yang masih menjadi ibu bekerja
ditelepon oleh ibu mertua sekitar jam 10 pagi, beliau mengatakan bahwa dari jam
9 Rin sudah muntah sebanyak 3 kali dan tidak mau minum. Akhirnya, dengan
tergesa-gesa saya meminta ijin pulang dan segera memesan ojek online. Sambil
menunggu ojek datang, saya memberi kabar pada suami dan dia mengatakan juga
akan segera pulang ke rumah. Bersyukur jarak kantor dengan rumah tidak sampai
30 menit jika naik motor dan melewati jalan pintas.
Sesampainya saya di rumah,
ternyata Rin sudah muntah lagi sebanyak 2 kali. Segera saya susui putri saya
dengan harapan, ASI bisa diterima oleh perutnya. Rin menyusu dengan lahap,
terlihat sekali jika dia kehausan—mungkin juga lapar. Saya dan ibu agak lega
saat melihat Rin menyusu cukup lama. Suami tiba di rumah saat Rin sedang
menyusu, bersama-sama kami mengamati. Akhirnya Rin selesai menyusu, tapi belum
ada 5 menit tiba-tiba “hoek!” Rin memuntahkan ASI yang sudah diminumnya. Tanpa
berdiskusi lagi, kami segera memutuskan membawa Rin ke RS. Mulya yang hanya
berjarak sekitar 10 menit dari rumah. Ketika kami sedang bersiap-siap, Rin
muntah lagi. Habis sudah ASI yang diminumnya tadi. Tak tega melihat putri saya
yang biasanya sangat aktif menjadi lemas dan pucat seperti itu.
Sesampainya di
rumah sakit, Alhamdulillah mendapat urutan pertama ke spesialis anak karena
kebetulan jadwal dsa nya baru dimulai. Saya lupa nama dsa Rin waktu itu. Rin
didiagnosa dehidrasi ringan-sedang dan dsa menyarankan agar segera dirawat inap
karena jika terlambat maka akan menjadi sulit mencari pembuluh nadi balita untuk
diinfus karena saat dehidrasi menjadi berat pembuluh nadi tersebut akan
menciut. Saya tanpa pikir panjang menyetujui dsa tersebut untuk rawat inap,
suami pun setuju. Karena kami berdua sudah seringkali mendengar betapa
bahayanya balita yang mengalami dehidrasi—bahkan bagi dewasa—, suami bahkan
dari pengalaman temannya sendiri. Namun, kakek dan nenek Rin tidak setuju
karena tidak tega membayangkan Rin harus ditusuk jarum infus.
Saya putuskan
mengambil jalan tengah. Saya meminta waktu 1 jam pada dsa, jika setelah minum
obat yang diresepkan Rin tetap muntah maka Rin akan di rawat inap. Dsa
menyetujui dan menuliskan surat pengantar ke UGD. Beliau berpesan bahwa setiap
kali Rin muntah maka harus masuk 70 ml cairan ke tubuhnya. Sehingga, kami harus
meminumkan 70 ml cairan untuk setiap 1 kali muntah. Sebelum pulang, Rin menyusu
dan Alhamdulillah tidak muntah. Kami pun pulang ke rumah dengan perasaan
sedikit tenang karena akhirnya Rin tidak memuntahkan ASI-nya. Sampai di rumah,
saya meminumkan obat mual pada Rin dan memberinya minum air putih. Tapi, tak
lama Rin kembali muntah-muntah. Saat itu saya dan ibu bahkan belum melepas
jilbab kami. Segera kami meluncur kembali ke rumah sakit dan menuju UGD.
Saya
dan papanya langsung mengurus administrasi untuk rawat inap, infus untuk Rin
disiapkan oleh perawat. Sungguh menyayat hati ketika melihat Rin menangis
karena badannya diikat—dibedong dengan kain supaya perawat bisa leluasa mencari
pembuluh nadinya untuk ditusukkan jarum infus. Lama sekali perawat tersebut
mencari-cari pembuluh nadi Rin, bahkan berganti orang.
Akhirnya, jarumnya
berhasil ditusuk tapi masyaallah ternyata tidak kena pembuluh nadinya. Pembuluh
nadi Rin sudah keburu menyusut akibat dehidrasi. Perawat mengatakan akan dicoba
lagi nanti untuk cari pembuluh nadinya di kaki jika di tangan tidak bisa. Saya
sudah nyeri membayangkan Rin harus menangis lagi seperti tadi. Saya susui putri
saya sebentar agar berhenti menangis. Lalu, saya melihat botol cairan
elektrolit yang diresepkan oleh dsa, saya minta papanya untuk membuka tutupnya
dan meminumkannya pada putri kami. Tidak disangka, Rin meminumnya tanpa paksaan
hingga habis setengah botol. Ternyata ketika saya cicipi rasa cairan elektrolit
tersebut cukup enak, aromanya seperti sirup melon. Pantas saja Rin suka. Kami
beri jeda waktu 10 menit lalu kami minumkan kembali dan Alhamdulillah satu botol
sudah habis diminum Rin.
Beberapa waktu kemudian rona wajah putri saya pun
sudah lebih cerah, dan dia mulai mengoceh mengomentari benda-benda di ruangan
UGD tersebut. 10 menit kemudian, kami minumkan kembali cairan elektrolit tersebut.
Lalu, tak lama kemudian Rin minta makan—kami semua baru ingat bahwa Rin belum
makan siang!. Kakek dan neneknya membawa Rin untuk makan, sedangkan saya dan
papanya tetap di UGD, kalau-kalau dipanggil oleh dokter atau bagian
administrasi rumah sakit.
Sekembalinya Rin dari tempat makan, dia sudah jauh
lebih baik. Jauh lebih ceria. Dokter UGD mengatakan sepertinya kadar elektrolit
tubuh Rin sudah mulai normal. Saya tetap meminumkan cairan elektrolit tersebut
pada Rin meskipun dia sudah terlihat lebih baik. Hingga dua jam kemudian, Rin
tidak ada muntah lagi. Cairan elektrolit sudah habis 2 botol. Dokter UGD
mengatakan Rin sudah lebih baik dan bisa dibawa pulang, tidak perlu di rawat
inap. Tapi, kami memutuskan untuk tetap tinggal di UGD hingga dua jam kedepan
karena masih khawatir kalau-kalau Rin muntah lagi.
Menjelang maghrib, kami
akhirnya memutuskan untuk membawa Rin pulang karena Rin sudah tidak muntah
lagi. Saya dan papanya mengurus administrasi selama perawatan di UGD dan
mengambil kembali uang deposit. Setibanya di rumah, kami terus memantau kondisi
Rin dan Alhamdulillah Rin betul-betul sudah tidak muntah lagi.
Alhamdulillah ya Rabb!
*Beberapa bulan kemudian Rin mengalami muntah kembali tapi
hanya 2 kali karena kami langsung memberikan cairan elektrolit seperti yang
diresepkan sebelumnya oleh dsa RS. Mulya. Saya dan ibu mertua pun me-recall makanan dan minuman yang masuk ke
tubuh Rin sebelum Rin muntah. Dan, kami mendapatkan kesimpulan bahwa Rin selalu
muntah setiap kali habis diberi makan ikan lele. Sudah 3 kali Rin muntah
setelah diberi makan dengan lauk ikan lele. Yang terparah adalah kejadian saat
Rin usia 10 bulan. Ada kemungkinan Rin alergi terhadap ikan lele. Kasus alergi
terhadap ikan air tawar memang jarang sehingga saya menjadi kurang aware. Riwayat alergi Rin memang tinggi
yang dia dapatkan dari saya, neneknya dan adik papanya memiliki alergi. Beberapa
sepupu saya juga memiliki alergi. Sehingga, sampai dengan sekarang saya belum
berani memberikan ikan lele lagi pada putri saya.
Salam sehat,